A. Kebutuhan Pendidikan di Abad ke-21
1. Profil Lulusan Pendidikan di Abad ke-21
a.
Empat Pilar Pendidikan
Menghadapi abad
ke-21, UNESCO melalui “The International
Commission on Education for the Twenty first Century" yang dipimpin
oleh Jacques Delors merekomendasikan pendidikan yang berkelanjutan (seumur
hidup) yang dilaksanakan berdasarkan empat pilar proses pembelajaran yaitu :
1). Learning
to know
Pilar ini
merupakan kunci pendidikan sepanjang hayat dan menjadi dasar belajar sepanjang
hayat. Learning to know juga berarti learning to learn, belajar untuk
memperoleh pengetahuan dan untuk melakukan pembelajaran selanjutnya.
2) Learning
to do
Pilar ke dua ini
secara umum membuat penguasaan kompetensi yang memungkinkan sesorang dapat
hidup dalam berbagai keadaan yang berhubungan dengan situasi yang berbeda-beda,
belajar bekerja, bekerja sama dalam tim, dan belajar menghadapi berbagai
situasi yang sering tidak terduga.
3) Learning
to be
Pilar
ketiga, yaitu belajar untuk mengaktualisasikan diri sebagai individu mandiri
dengan kepribadian yang memiliki timbangan (judgment)
yang dikombinasikan dengan tanggungjawab pribadi untuk mencapai tujuan bersama.
4) Learning
to live together
Pilar
ini dianggap sebagai landasan pendidikan dari ketiga pilar yang lain dengan
pengembangan pemahaman dan apresiasi tentang orang lain dan sejarahnya, tradisi
dan nilai-nilai spiritual, dan mendasarkan pada semangat baru untuk
mengapresiasi dan mengamalkan kondisi saling ketergantungan, keanekaragaman,
saling memahami dan memecahkan konflik dengan cara damai.
(Asep
Herry, 2008:6.7)
b. Kompetensi Lulusan Sekolah Dasar
Pandangan
tentang empat pilar pendidikan yang ditawarkan UESCO tersebut memastikan peran
pendidikan dalam memasuki abad ke-21 yang perlu ditumbuhkan melalui budaya
sekolah, baik melalui individu, kelompok, dan lembaga yang terlibat dalam
pendidikan tersebut. Dengan memperhatikan empat pilar pendidikan tersebut,
berbagai kelemahan yang berkembang di masyarakat, dan dengan mempertimbangkan
akar budaya masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama, maka sekolah
dasar di Indonesia seharusnya dikembangkan untuk membantu siswanya menguasai
kompetensi yang berguna bagi kehidupannya di masa depan, yaitu:
1). Kompetensi Keagamaan
Kompetensi
ini meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan keagamaan yang diperlukan
untuk menjalankan fungsi-fungsi manusia dalam kehidupannya sehari-hari sebagai
makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
2). Kompetensi Akademik
Kompetensi
akademik meliputi pengetahuan,sikap, dan keterampilan yang diperlukan untuk
dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang relevan dengan
usia dan tingkat perkembangan siswa sekolah dasar. Termasuk keterampilan
belajar dan kemampuan mengakses informasi untuk dapat terus belajar sepanjang hayat,
sesuai dengan prinsip pendidikan seumur hidup.
3) Kompetensi Ekonomik
Kompetensi
ini meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan untuk dapat
ememnuhi kebutuhan ekonomi agar siswa sekolah dasar dapat hidup layak di
masyarakat.
4) Kompetensi Sosial Pribadi
Kompetensi
ini meliputi pengetahuan, sikap, dan keetrampilan yang diperlukan untuk dapat
hidup apdaptif sebagai warga negara dan warga masyarakat internasional yang
demokratis.
Menurut
H. Basyuni Suriamiharja (1994:11), pada tamatan pendidikan progam enam tahun
(SD) adalah pengetahuan, nilai dan sikap, kemampuan melaksanakan tugas atau
mempunyai kemampuan untuk mendekatkan dirinya dengan lingkungan alam,
lingkungan sosial, lingkungan budaya, dan kebutuhan daerah perlu dipelajari
serta mempunyai kemampuan dasar baca,tulis, dan hitung untuk melanjutkan ke
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.
2. Format-format pendidikan yang Mungkin
Tersedia di Abad ke-21
a. Cyber (E-Learning)
Kemajuan
teknologi informasi banyak membawa dampak positif bagi kemajuan dunia pendidikan
dewasa ini. Khususnya teknologi
komputer dan internet, baik dalam hal perangkat keras maupun perangkat lunak,
memberikan banyak tawaran dan pilihan bagi dunia pendidikan untuk menunjang
proses pembelajaran para peserta didik. Keunggulan yang ditawarkan bukan saja
terletak pada faktor
kecepatan untuk mendapatkan informasi, namun juga fasilitas multimedia yang
dapat membuat belajar lebih menarik, visual, dan interaktif. Sejalan dengan
perkembangan teknologi internet, banyak kegiatan pembelajaran yang dapat
dilakukan dengan memanfaatkan teknologi ini.
Cyber
atau Electronic Learning (E-Learning) pada hakikatnya adalah belajar
atau pembelajaran melalui pemanfaatan teknologi komputer dan/atau internet.
Teknologi belajar seperti itu bias juga disebut sebagai belajar atau
pembelajaran berbasis web (Web Based Instruction). Beberapa pandangan
yang mengarah pada definisi E-Learning dapat dikemukakan sebagai berikut:
1) E-Learning adalah
konvergensi antara belajar dan internet (Bank of America Securities).E-Learning
menggunakan kekuatan dan jalinan kerja, terutama dapat terjadi dalam teknologi
internet, tetapi juga dapat terjadi dalam jalinan kerja satelit dan oemuasan
digital untuk keperluan pembelajaran (Ellif Tronsen)
2)
E-Learning
adalah menggunakan jalinan kerja teknologi untuk mendesain, mengirim, memilih,
mengorganisasikan pembelajaran (Elliot Masie).
3)
E-Learning
adalah pembelajaran yang dapat terjadi di internet (Cisco System).
4)
E-Learning
adalah dinamik, beroperasi pada waktu yang nyata, kolaborasi, individu,
komprehensif (Greg Priest)
5)
E-Learning
adalah pengiriman sesuatu melalui media elektronik termasuk internet, intranet,
extranet, satelit broadcast, audio/video tape, televisi interaktif, dan
CD-ROM (Cornelia Weagen).
6)
E-Learning
adalah keseluruhan variasi internet dan teknologi web untuk membuat, mengirim,
dan memfasilitasi pembelajaran (Robert Peterson dan Piper Jafray).
7)
E-Learning
menggunakan kekuatan dan jalinan kerja untuk pembelajaran di mana pun dan kapan
pun (Arista Knowledge System).
(asep Herry, 2008:6.12)
b. Open dan
Distance Learning
Pembelajaran
jarak jauh (distance learning) merupakan model belajar di mana guru dan
siswa tidak berada dalam suatu tempat dan waktu yang sama serta tidak bertatap
muka secara fisik/langsung, namun demikian di antara mereka ada komunikasi dua
arah yang dilakukan dengan berbagai cara dan bantuan dari teknologi komunikasi
dan informasi. Model belajar seperti ini merupakan pengembangan dari konsep
pendidikan jarak jauh (distance education) atau sering juga dipakai istilah
pendidikan/belajar terbuka (open education/learning), sekolah
korespondensi (correspondence school), belajar fleksibel (flexible
learning), dan kelas/sekolah maya (virtual classroom/school).
Belajar jarak jauh berorientasi kepada siswa, berbeda dengan sistem konvesional yang lebih berfokus kepada guru atau lembaga penyelenggara pendidikan. Kewenangan untuk untuk menentukan waktu, tempat, maupun kecepatan belajar lebih banyak ditentukan oleh siswa. Fungsi guru bergeser bukan lagi sebagai sumber belajar yang utama yang harus menyampaikan bahan pelajaran kepada siswa, tetapi lebih sebagai pengelola kelas dan fasilitator. Proses belajar lebih bersifat individual dan menuntut siswa untuk belajar secara aktif dengan menggunakan bahan belajar mandiri, baik cetak maupun non cetak.
Belajar jarak jauh berorientasi kepada siswa, berbeda dengan sistem konvesional yang lebih berfokus kepada guru atau lembaga penyelenggara pendidikan. Kewenangan untuk untuk menentukan waktu, tempat, maupun kecepatan belajar lebih banyak ditentukan oleh siswa. Fungsi guru bergeser bukan lagi sebagai sumber belajar yang utama yang harus menyampaikan bahan pelajaran kepada siswa, tetapi lebih sebagai pengelola kelas dan fasilitator. Proses belajar lebih bersifat individual dan menuntut siswa untuk belajar secara aktif dengan menggunakan bahan belajar mandiri, baik cetak maupun non cetak.
c. Quantum Learning
Quantum
Learning dikembangkan oleh Bobbi DePorter (1992)
yang beranggapan bahwa metode belajar ini sesuai dengan cara kerja otak manusia
dan cara belajar manusia pada umumnya. Dengan model SuperCamp yang
dikembangkan bersama kawan-kawannya pada awal 1980-an, prinsip-prinsip dan
metode Quantum Learning menemukan bentuknya. Dalam SuperCamp
tersebut, kurikulum dikembangkan secara harmonis dan berisi kombinasi dari tiga
unsur, yaitu keterampilan akademis (academic skills), prestasi atau
tantangan fisik (physical challenges), dan keterampilan dalam hidup (life
skills). Kurikulum didasarkan pada filsafat dasar bahwa belajar itu dapat
dan harus menyenangkan. Adapun keuntungan atau manfaat dari metode Quantum
Learning ini selain terbukti efektif untuk semua usia, juga menumbuhkan:
1) Sikap
positif (positive attitude)
2)
Motivasi (motivation)
3)
Keterampilan belajar sepanjang
hayat (lifelong learning skills)
4)
Kepercayaan diri (confidence)
5)
Kesuksesan (success)
Menurut
Georgi Lozanov, pada prinsipnya sugesti itu dapat dan pasti mempengaruhi hasil
belajar. Teknik yang digunakan untuk memberikan sugesti positif dalam belajar
di antaranya yaitu mendudukkan siswa secara nyaman, memasang musik latar di
dalam kelas, meningkatkan partisipasi siswa, menggunakan poster-poster dalam
menyampaikan suatu informasi, dan menyediakan guru-guru yang terlatih. Metode Quantum
Learning ini menjadi awal munculnya metode Quantum Teaching yang
dapat melejitkan kemampuan guru dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Quantum
Teaching ini menawarkan tentang cara-cara baru untuk memaksimalkan dampak
dari usaha pembelajaran melalui penciptaan lingkungan belajar yang efektif
untuk memudahkan proses belajar. Asas utama dari Quantum Teaching, yaitu “bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan
antarkan dunia kita ke dunia mereka” maksudnya bahwa langkah pertama yang harus
dilakukan olehseorang guru yaitu memasuki dunia anak untuk mengetahui minat,
bakat, kemampuan. Setelah itu barulah seorang guru mengantarkan atau menyajikan
materi pelajaran.
d. Cooperative Learning
Pembelajaran
kooperatif diartikan sebagai pembelajaran yang menggunakan kelompok kecil yang
dapat menumbuhkan kerja sama secara maksimal dan masing-masing siswa belajar
satu dengan yang lainnya. Dalam kelompok pembelajaran kooperatif, para siswa
mempunyai dua tanggunga jawab
yaitu belajar konten yang telah dirancang, dan menjadikan semua anggota kelompok
bekerja sama. Dalam pembelajaran kooperatif ini harus ditunjukkan empat hal
yaitu cooperative behavior (perilaku kerja sama antar anggota kelompok),
incentive structure (memberikan suatu insentif kepada semua orang dalam
kelompoknya), cooperative task structure (terjadinya saling membantu dan
kerja sama antara yang kuat dan yang lemah dalam suatu kelompok, dan cooperative
motives (mengembangkan motif atau budaya kerja sama yang baik).
Memperhatikan
beberapa hal yang telah dikemukakan, maka pada hakikatnya cooperative
learning itu merupakan sistem pembelajaran yang memegang teguh filosofi
maju bersama dalam suasana kompetitif untuk format cooperative learning
sangat diperlukan, terutama untuk menunjang pilar to live together.
e. Society-Technology-Science (STS)
Pendekatan STS
ini merupakan pendekatan baru dalam pembelajaran IPA dan IPS di sekolah dasar.
Dalam pembelajaran IPA, istilah STS merupakan akronim Society Technology
Science. Secara filosofis konsep STS tersebut didasari oleh suatu pandangan
dengan kehidupan masyarakat, begitu pula sebaliknya. STS merupakan gerakan
interdisipliner yang relatif baru yang dikembangkan untuk mengintegrasikan
permasalahan-permasalahan dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan masyarakat.
Asumsi yang mendasari munculnya STS baik dalam IPA maupun IPS, yaitu
keterkaitan antara sains, teknologi, dan masalah sosial.
Dalam
pelaksanaannya, dilakukan dengan cara mengaitkan kegiatan pembelajaran dengan
masalah-masalah yang dihadapi siswa dalam kehidupan sehari-hari. Pengaitan
tersebut lebih bermakna belajar sains dalam konteks kehidupan manusia.
f. Accelerated Learning
Accelerated
learning (belajar akselerasi) adalah suatu
kemampuan menyerap dan memahami informasi baru secara cepat serta
mempertahankan informasi tersebut. Menurut Colin Rose dan Malcolm J. Nichol
(2002), kemampuan seperti ini diperlukan untuk menguasai kecepatan dalam suatu
perubahan yang terjadi. Penguasaan metode belajar akselerasi dapat meningkatkan
kemampuan belajar secara lebih efektif. Dalam belajar akselerasi ini sangat
dipentingkan konsep learning how to learn (belajar bagaimana belajar)
maksudnya adalah belajar yang tujuannya untuk menguasai bagaimana cara/teknik
mempelajari sesuatu, bukan belajar untuk menguasai ilmu pengetahuan atau
keterampilan tertentu. Ilmu pengetahuan itu mengalami eksplosi atau berkembang
dengan sangat cepat, oleh karena itu tidak bisa diajarkan satu per satu oleh
para guru karena membutuhkan waktu yang lama. Dengan demikian, yang dibutuhkan
adalah siswa menguasai cara mempelajari ilmu pengetahuan tersebut sehingga ia
bias belajar sendiri tanpa banyak bergantung kepada guru atau yang lainnya.
B.
Model Kurikulum
Untuk Abad ke-21
1. Model
Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kurikulum
berbasis kompetensi dapat diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang
menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompotensi) didik, berupa
pengusaan terhadap seperangkat kompotensi tertentu. Kurikulum ini diarahkan untuk
mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap, dan minat
peserta didik, agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketepatan,
dan keberhasilan dengan penuh tanggung jawab.
Model
kurikulum ini dibutuhkan di abad ke-21 karena dengan harapan akan mampu
membekali para siswa dalam menghadapi tantangan hidupnya di kemudian hari
secara mandiri, cerdas kritis, rasional, dan kreatif. Kompetensi-kompetensi
yang dikembangkan dalam kurikulum tersebut diarahkan memberi bekal keterampilan
bertahan hidup di era globalisasi yang penuh dengan perubahan, pertentangan,
ketidakmenentuan, ketidakpastian, dan kerumitan-kerumitan dalam kehidupan.
2. Model
Kurikulum Berbasis Masyarakat
Kurikulum
berbasis masyarakat merupakan kurikulum yang menekankan perpaduan antara
sekolah dan masyarakat guna mencapai tujuan pengajaran. Kurikulum ini pula
memiliki tujuan memberikan kemungkinan kepada siswa untuk akrab dengan
lingkungan dimana mereka tinggal, mandiri dan bekal keterampilan. Karakteristik
kurikulum berpusat kepada masyarakat ditinjau dari segi pembelajaran baik
berorientasi, metode, sumber belajar, strategi pengajaran berpusat pada
kepentingan siswa sebagai bekal hidup di masa mendatang. Karakteristik lain
dari materi pembelajaran sesuai tuntutan kewilayahan maka disebut juga
kurikulum berbasis kewilayahan. Sedangkan kegiatan guru hanyalah sebagai
fasilitator belajar dan siswa untuk aktif, kreatif untuk memecahkan
permasalahan. Sehingga menghasilkan lulusan yang memiliki karakter, kecakapan,
dan keterampilan yang kuat untuk digunakan dalam mengadakan hubungan timbal
balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar, serta mengembangkan
kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan lebih lanjut.
Model
pengajaran yang berpusat pada masyarakat adalah suatu bentuk kurikulum yang
memadukan antara sekolah dan masyarakat dengan cara membawa sekolah ke dalam
masyarakat atau membawa masyarakat ke dalam sekolah guna mencapai tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan. Hamalik (2005) dalam merinci karakteristik kurikulum berbasis pada
masyarakat meliputi:
a. Pembelajaran berorientasi pada
masyarakat, di masyarakat dengan kegiatan belajar bersumber pada buku teks.
b. Disiplin kelas berdasarkan tanggung
jawab bersama bukan berdasarkan paksaan atau kebebasan.
c. Metode mengajar terutama
dititikberatkan pada pemecahan masalah untuk memenuhi kebutuhan perorangan dan
kebutuhan sosial atau kelompok.
d. Bentuk hubungan atau kerja sama
sekolah dan masyarakat adalah mempelajari sumber-sumber masyarakat, menggunakan
sumber-sumber tersebut, dan memperbaiki masyarakat tersebut.
e. Strategi pembelajaran meliputi karya
wisata, manusia (nara sumber), survei masyarakat, berkemah, kerja lapangan,
pengabdian masyarakat, kuliah kerja nyata, proyek perbaikan masyarakat dan
sekolah pusat masyarakat.
3.
Model
Kurikulum Konstruktivis
Model
kurikulum ini dilatar belakangi oleh munculnya filsafat pengetahuanyang banyak
mempengaruhi perkembangan pendidikan (terutama sains dan matematika), yaitu
filsafat konstruktivisme. Aliran ini menekankan bahwa pengetahuan adalah hasil
konstruksi (bentukan) manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuannya melalui
interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman,dan lingkungannya. Suatu
pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi
dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Dalam filsafat
konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang
kepada yang lainnya, tetapi harus diinterprestasikan sendiri oleh masing-masing
orang.
Para
penganut konstruktivisme menganggap bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan
dari kenyataan (realita). Melainkan pengetahuan selalu merupakan akibat dari
suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Kurikulum yang
bercorak konstruktivistik memandang kurikulum itu tidak bisa dilepaskan dari
siswa yang belajar, lingkungan tempat dia belajar, kultur/kebudayaan,
pengetahuan, kebiasaan. Kurikulum harus ditekankan dalam kerangka yang sangat
luas yang menyangkut konteks historis, ekonomi, politik, orang tua,
administrator, dan guru (Tobin,1994 dalam Asep Herry,2008:6.31).
Menurut
teori konstruktivistik, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang aktif, dimana
siswa membangun sendiri pengetahuannya, mencari arti sendiri dari apa yang
mereka pelajar. Sedangkan guru harus mampu menciptakan berbagai situasi dan
metode untuk mebantu siswa dalam belajar. Seorang guru harus berperan sebagai
mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan
dengan baik.
Model
kurikulum yang bercorak konstruktivistik dalam pelaksanaannya menerapkan
beberapa prinsip sebagaimana dikemukakan oleh Cunningham,Duffy, dan Knuth dalam
(Asep Herry,2008:6.32), yaitu sebagai berikut:
a. Mengembangkan
pengalaman melalaui proses konstruksi pengetahuan. Prinsip ini menghendaki agar
siswa dilibatkan dalam menentukan topic/subtopic mata pelajaran yang mereka
pelajari, metode belajar, dan strategi pemecahan masalah.
b. Mengembangkan
pegalaman belajar yang memungkinkan apresiasi dan kaya akan berbagai
alternativ.
c. Mengintegrasikan proses belajar dengan pengalaman yang nyata
dan relevan. Untuk itu desain kurikulum harus memasukkan konteks yang nyata
sebagai tugas belajar.
d. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menentukan isi dan
arah belajar mereka sendiri. Hal ini merupakan inti dari pembelajaran
konstruktivistik. Oleh karena itu, fungsi guru adalah sebagai konsultan untuk
menolong siswa dalam kerangka pencapaian tujuan.
e. Menanamkan belajar melalui pengalaman bersosialisasi.
f. Mendorong penggunaan berbagai bentuk representasi.
Mendorong peningkatan
kesadaran siswa dalam proses pembentukan pengetahuan. Kunci hasil belajar
konstruktivistik adalah “mengetahui begaimana kita tau”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar