BAB III
PEMBAHASAN
A. PENGEMBANGAN KURIKULUM DI INDONESIA
1. Program Kurikulum
Pendidikan
a. Rencana Pelajaran 1947
Kurikulum
pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih
popular ketimbang curriculum (bahasa Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan
lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan
nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila.
Rencana
Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan
menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya
memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus
garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran.
Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi
pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian
dan pendidikan jasmani.
b. Rencana
Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum
ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai
1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata
pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode
1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan
Tanjung Pinang, Riau. Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana
Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta,
rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan
dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik,
keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan
pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
c.
Kurikulum 1968
Kelahiran
Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang
dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia
Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi
pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan
khusus. Jumlah pelajarannya 9. Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai
kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja,” katanya.
Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan
faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan
kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
d.
Kurikulum 1975
Kurikulum 1975
menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang
melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO
(management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi,
Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas. Metode, materi, dan tujuan pengajaran
dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini
dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan
bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan
instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan
belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin
sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
e.
Kurikulum 1984
Kurikulum 1984
mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi
faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975
yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari
mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini
disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Tokoh
penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan,
Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP
Jakarta — sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA
yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang
diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara
nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang
terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di
sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model
berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.
f. Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994
bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya
ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara
pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan. Sayang, perpaduan tujuan dan
proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai
terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal
disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah
kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan
kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam
kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat.
Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999.
Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.
g. Kurikulum
2004
Bahasa kerennya
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar
kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila
dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah
maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang
ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian
yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa. Meski baru
diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar
di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun
tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum.
(sumber: depdiknas.go.id)
h. KTSP
2006
Awal 2006 ujicoba
KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP
masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi
pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan
Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan
kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi
siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD),
standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar
(SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan
oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran,
seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan
(sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota. (TIAR).
2. Konsep Kurikulum
Konsep
kurikulum yakni: kurikulum Humanistik, kurikulum rekontruksi sosial kurikulum
teknologi, dan kurikulum subyek akademis. Tetapi pada pembahasan ini lebih
ditonjolkan pada pembahasan kurikulum humanistik dan rekontruksi sosial.
a. Kurikulum Humanistik
Kurikulum
Humanistik dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistic. Kurikulum ini
berdasarkan konsep aliran pendidikan pribadi. Dalam pandangan humanisme,
kurikulum sebagai sesuatu yang dapat menunjang perkembangan anak dalam aspek
memenuhi kebutuhan individu untuk mencapai integrafi perkembangan dalam menuju
aktualisasi diri. Kurikulum Humanistik menitik beratkan pada pendidikan yang
integrative antara aspek afektif (emosi, sikap, dan nilai) dengan aspek
kognitif (pengetahuan dan kecakapan intelektual) atau menambah aspek emosional
ke dalam kurikulum yang berorientasi pada subyek metter (mata pelajaran).
Pendidikan humanistic menekankan peranan siswa. Tugas guru adalah menciptakan
situasi yang permisif dan mendorong siswa untuk mencari dan mengembangkan
pemecahan sendir atau bagaimana merasakan atua bersikap terhadap sesuatu.
Aliran yang termasuk dalam pendidikan humanistic yaitu pendidikan konfluen, kritikisme
radikal dan mistikisme modern.
Ø
Pendidikan konfluen
Pendidikan
yang memandang anak sebagai satu keseluruhan diri. Pendidikan konfluen kurang
menekankan pengetahuan yang mengandung segi efektif. Menurut mereka kurikulum
tidak menyiapkan pendidikan tentang sikap perasaan dan nilai yang harus
dimiliki murid.
·
Ciri-ciri kurikulum konkluen:
1. Partisipasi→partisipasi
dalam belajar
2. Integrasi→interaksi dari
pemikiran perasaan dan juga tindakan
3. Relavansi→keterkaitan
4. Pribadi anak (self)→memberi
tempat utama pada anak
5. Tujuan→mengembangkan pribadi
yang utuh yang serasi baik di dalam dirinya maupun dengan lingkungannya.
Kurikulum konfluen menyatukan pengetahuan abyektif dan
subyektif berhubungan dengan kehidupan siswa dan bermanfaat baik bagi individu
maupun masyarakat.
·
Metode-metode belajar konfluen
Dalam
kurikulum konfluen telah disusun kurikulum untuk berbagai bidang pengajaran
mencakup tujuan, topic yang akan dipelajari, alat-alat pelajaran dan buku teks
yang tersusun dalam bentuk rencana-rencana pelajaran. Unit-unit pelajaran yang
telah dujicobakan.
Ø
Pendidikan kritikisme radikal
Pendidikan
sebagai upaya untuk membantu anak mengembangkan sendiri potensi yang dimiliki.
Bersumber dari aliran naturalisme/ romantisme rousseau. Dalam pendidikan ini
tidak ada pemaksaan yang ada adalah dorongan dan rangsangan untuk berkembang.
Ø
Mistikisme modern
Aliran yang
menekankan pada latihan dan pengembangan kepekaan perasaan, kehalusan budi
pekerti melalui sensitivity training, yoga, dan meditasi.
b. Kurikulum Rekontruksi Sosial
Kurikulum
rekontruksi sosial lebih memusatkan perhatian pada problema-problema yang
dihadapinya dalam masyarakat. Kurikulum ini bersumber pada aliran pendidikan
interaksional. Menurut mereka pendidikan bukan upaya sendiri melainkan,
kegiatan bersama, interaksi, kerjasama, kerjasama. Kerjasama atau interaksi
bukan hanya terjadi antara siswa dengan guru tetap juga antara siswa dengan
siswa, siswa dengan orang dilingkungannya dan dengan sumber belajar lainnya.
Melalui kerjasama dan interaksi ini siswa berusa memecahkan problema-problema
yang dihadapinya dalam masyarakat menuju masyarakat yang lebih baik. Para ahli
rekontruksi sosial memandang kurikulum harus mampu menolong membantu siswa
untuk menyesuaikan diri dengan masyarakatnya dengan ketrampilan-ketrampilan
yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan perubahan sosial. Kurikulum ini lebih
menekankan kepentingan individu dalam perubahan sosial. Mereka ingin
menyakinkan murid-murid bagaimana masyarakat memuat warganya seperti yang ada sekarang
dan bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhan pribadi warganya melalui kosensus
sosial. Perubahan sosial tersebut harus dicapai melalui prosedur demokrasi. Para
rekontruksianis sosial menentan intimidasi, menakut-nakuti dan kompromi semu.
Mereka mendorong agar para siswa mempunyai pengetahuan yang cukup tentang
masalah-masalah sosial yang mendesak dan kerja sama atau bergotong royong untuk
memecahkannya.
c. Kurikulum Tradisional Atau Progresif
Menjalankan
kurikulum tradisional atau progresif akan banyak mendapat tantangan, antara
lain dari pihak guru yang dikenal karena sikap koservatifnya, juga orang tua
yang mengecap pendidikan tradisional dan merasakan manfaatnya. Menganut
kurikulum tradisional berpegang pada kurikulum yang di dasarkan atas subyek atau
mata pelajaran yang biasanya diberikan secara terpisah-pisah. Bahan mata
pelajaran di ambil dari berbagai disiplin ilmu yang dibina dan senantiasa
dikembangkan para ilmuwan dank arena itu mendapat penghargaan tinggi dari
masyarakat. Penganut kurikulum progresif atau modern tidak menolak ilmu, akan
tetapi tidak dipelajari demi ilmu itu sendiri, akan tetapi untuk dipergunakan
dalam memecahkan suatu masalah. Sambil memecahkan masalah siswa mengumpulkan
ilmu yang diperlukan. Kurikulum tradisional menyamaratakan semua siswa baik
mengenai bahan, metode belajar-mengajar, maupun evaluasi. Kurikulum progresif
memperhatikan bahkan membantu perkembangan keunikan individu. Kurikulum
tradisional menerima kenyataan dalam masyarakat sebagaimana adanya, sedangkan
kurikulum progresif berusaha untuk mengubah lingkungan untuk membentuk dunia
yang lebih baik. (www.InfoDiknas.com)
B. PROSES SOSIALISASI DAN PEMBINAAN KURIKULUM
1. Sosialisasi Kurikulum
Sosialisasi
kurikulum pada dasarnya merupakan suatu proses pemasyarakatan ide atau gagasan
yang terdapat pada suatu kurikulum terhadap para pelaksana kurikulum, terutama
sekali pada tingkat mata pelajaran. Mekanisme sosialisasi atau pemasyarakatan
kurikulum ini biasanya berjenjang, yaitu dari tingkat nasional ke tingkat
propinsi, dari tingkat propinsi ke tingkat kabupaten, dan dari tingkat
kabupaten ke tingkat kecamatan dan sekolah.
a.
Sosialisasi Ide
Mengkomunikasikan
gagasan, sebelum kurikulum mulai disusun
b.
Sosialisasi Proses
Mengkomunikasikan
perkembangan yang telah dicapai selama proses penyusunan kurikulum
c.
Sosialisasi Produk
Mengkomunikasikan
kurikulum yang telah selesai disusun
2. Pembinaan Kurikulum
Pembinaan
kurikulum merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh staf sekolah untuk menjaga
dan mempertahankan agar kurikulum tetap berjalan sebagaimana seharusnya.
Pembinaan kurikulum mengusahakan pelaksanaan kurikulum sesuai program dan
ketentuan yang telah di tetapkan. Tujuan pembinaan kurikulum adalah agar
diperolehnya pelaksanaan kurikulum yang mantap, serta memperkecil atau
meniadakan kesenjangan antara kurikulum ideal dengan aktual. REFLEKSI
keberhasilan kurikulum itu sangat tergantung kepada bagaimana kurikulum itu
dilaksanakan atau diimplementasikan. Sebaik apapun kurikulum secara tertulis
itu dirancang (ideal/potentialcurriculum), namun apabila dalam pelaksanaannya
(actual/real curriculum) tidak di dukung oleh berbagai unsur maka kurikulum itu
akan sulit mencapai hasil yang diharapkan.
Pembinaan kurikulum merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi proses
pendidikan di suatu negara. Di Indonesia, pembinaan kurikulum dilaksanakan
secara:
1.
Struktural
Pembinaan kurikulum model ini,
dilaksanakan bertahap. Pelaksanaan tersebut berjalan dari
PUSAT→Provinsi→Kab/Kota→Kecamatan→Satuan Pendidikan. Namun seringkali dalam
pelaksanaannya, para tutor yang mengikuti pelatihan di tingkat pusat tidak
mampu menurunkan materi yang didapatnya secara baik kepada daerah/provinsi. Hal
ini dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti faktor kesehata, kesibukan,
prioritas, dan lain sebagainya. Selain tahap pusat→provinsi, pada tahap
selanjutnya pun bisa terjadi hal-hal serupa sehingga menimbulkan perbedaan
persepsi antar daerah, kab/kota, bahkan antar satuan pendidikan.
2. Fungsional
Pembinaan kurikulum secara
fungsional, tahapannya hampir sama dengan pembinaan kurikulum secara struktural
namun dalam pembinaan kurikulum secara fungsional hanya dilakukan oleh lembaga
dan/atau orang yang berfungsi membina dalam pembinaan dan pengimplementasian
kurikulum yang tentunya berbidang kurikulum.
3.
Kolegial
Pembinaan kurikulum secara
kolegial, dilaksanakan pada pembinaan profesi. Model pembinaan ini dilakukan
antar mereka yang seprofesi (antar rekan/teman) yang setara dan berlangsung
terus menerus (kolegial). Dalam pendidikan, interaksi tersebut dapat terjadi
pada Pusat Kegiatan Guru (PKG), Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata
Pelajaran (MGMP), ataupun pada Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS).
4.
Personal
Pembinaan kurikulum secaral
personal, tiap individu berupaya meningkatkan kemampuan, kompetensi, dan
profesionalismenya sendiri. Hal ini dapat dilakukan dengan belajar sendiri,
berlangganan majalah atau jurnal, mengikuti pelatihan, mengikuti penataran.
Pembinaan kurikulum secara personal bisa juga dilakukan dengan menganalisa
serta mencari solusi terhadap berbagai persoalan seputar peserta didik maupun
guru yang berdasar pada pengalaman pribadi. (Asep Herry Hermawan, dkk ;
Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran)
1. Apakah
pembinaan kurikulum saat ini sudah berjalan dengan baik sedangkan pada
kenyataannya kurikulum di lapangan tidak sesuai dengan kurikulum yang diatur
pemerintah?(Siti Haniah)
2. Apakah
perbedaan dan persamaan dari kurikulum CBSA dan KBK?(Kukuh Utami)
3. Sebutkan
alasan kurikulum yang diatur pemerintah tidak sesuai dengan yang ada
dilapangan?(Heri Wibowo)
4. Apakah
sosialisasi kurikulum sudah dapat dilaksanakan? Kalau belum, apa alasannya?
Contoh
sosialisasinya?(Febriana Wulandari)
5. Apa
penyebab pemerintah mengganti kurikulum? apakah kurikulum yang lama sudah
mencapai tujuan pendidikan?(Irfan Fajar)
Jawab:
1. Menurut
kelompok kami, belum. Karena fakta di lapangan sangat jelas bahwa kurikulum
yang dibuat oleh pemerintah sangat bertolak belakang dengan keadaan peserta
didik saat ini. Maksudnya bahwa kurikulum saat ini sangat sulit diterapkan oleh
guru sehingga para peserta didik tidak bisa atau tidak mampu menerima secara
maksimal.
2.
Perbedaan:
CBSA
: pembelajarannya berpusat pada siswa atau siswa lebih aktif
KBK
: pelajaran diuraikan berdasarkan kompetensi yang mesti dicapai siswa
Persamaan:
Kedua
kurikulum tersebut sama-sama gagal diterapkan bahkan hasilnya tidak memuaskan
untuk mencapai tujuan pendidikan
3. a. Guru kurang mampu menerapkan kurikulum
yang baru. Jadi berdampak pula pada peserta didik dalam pencapaian tujuan
pendidikan.
b.
Kompetensi siswa tidak mendukung terhadap kurikulum baru. Maksudnya siswa tidak
dapat menerima secara maksimal pembelajaran karena kemampuan siswa yang kurang
mendukung.
4. Sudah, yaitu dari pihak dinas pendidikan
mengadakan sosialisasi dengan guru-guru di daerah-daerah membahas mengenai
apakah kurikulum saat ini sudah sesuai.
5. Karena kurikulum yang lama mungkin kurang
tepat bila diterapkan pada peserta didik sehingga peserta didik tidak mampu
mencapai tujuan pembelajaran.
Menurut
kelompok kami belum, karena terbukti dengan adanya perubahan-perubahan
kurikulum dengan maksud untuk lebih menyempurnakan kurikulum-kurikulum sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar